Monday 10 March 2014

makalah sejarah peradaban islam













BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sikap ekstrem dalam hal dan bentuk apa pun jelas bukan sesuatu yang menyenangkan dalam kehidupan. Ekstremisme dalam kehidupan agama dapat menimbulkan dampak lebih berbahaya lagi, karena agama juga melibatkan emosi yang bisa menjadi sangat bernyala-nyala. Banyak penyebab ekstremisme kegamaan, mulai dari pemahaman harfiah dan sepotong-potong terhadap ayat-ayat Al-Qur’an misalnya, pertarungan politik dan kekuasaan, sampai kepada masalah internal lainnya dalam lingkungan umat Islam sendiri maupun pada tingkat negara-bangsa.
Pada akhir abad ke-17, Jazirah Arab masih terbagi empat wilayah, bagian utara di Syam (Syiria), timur di Najd, barat di Hijaz, dan selatan di Yaman. Tapi awal abad ke-18, Gubernur Najd, Muhammad ibnu Saud, yang didukung seorang ulama bernama Muhammad bin Abdul Wahab memisahkan diri dari Khilafah Utsmani. Pertama kali muncul, gerakan ini langsung dihabisi oleh Khalifah Utsmani yang memerintahkan gubernur Mesir, Raja Fuad, untuk memeranginya. Dalam pertempuran ini, Muhammad ibnu Saud dapat dikalahkan. Akan tetapi, Abdul Aziz bin Abdurrahman bin Muhammad Saud, cucu Muhammad Saud, melarikan diri ke luar negeri untuk menghimpun kekuatan. Begitu ada kesempatan, dengan dukungan pasukan yang sangat militan, Abdul Aziz menyerang Makah. Begitu masuk Makah, situs-situs sejarah perkembangan Islam juga dibongkar: rumah Sayyidina Ali dijadikan kandang keledai dan lain sebagainya.
Salafi Wahabi bukanlah Khawarij. Karena Khawarij muncul pada abad ke-37 Hijriyah di awal perkembangan Islam, sedangkan Wahabi baru hadir di abad ke-18 Masehi, atau 1200 tahun setelah masa Rasulullah Saw yang ditandai dengan dakwah Syaikh Muhammad ibnu Abdul Wahab. Namun, ada beberapa sisi kesamaan. Istilah Wahabi yang belakangan ini sering dikaitkan oleh sejumlah kalangan dengan radikalisme. Meski banyak gambaran yang serba negatif tentang pemikiran dan gerakan Wahabiyyah, sampai kini ia merupakan paham atau aliran keagamaan yang dianut dan diterapkan pemerintahan Kerajaan Arab Saudi.   
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut di atas maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Salafi?
2. Siapa sebenarnya Salafi Wahabi?
3. Bagaimana sepak terjang gerakan dan pemikiran Wahabi di Saudi Arabia?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.  Mendeskripsikan pengertian Salafi secara rapi di kalangan mahasiswa dengan tujuan supaya mahasiswa tanggap dan waspada terhadap fakta.
2.  Mendeskripsikan perihal terkait Salafi Wahabi serta mendeskripsikan mengenai sepak terjang gerakan dan pemikiran Wahabi di Saudi Arabia.


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Salafi
Kata salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada as salaf. Kata as-salaf sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Adapun makna terminologis As-Salaf adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah Saw. dalam hadisnya, “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in),kemudian yang mengikuti mereka (tabi’at-tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadis ini, maka yang dimaksud dengan as-Salaf adalah para sahabat Nabi Saw., kemudian tabi’in (pengikut Nabi setelah masa sahabat), lalu tabi’at-tabi’in (pengikiut Nabi setelah masa tabi’in, termasuk di dalamnya para Imam Mazhab karena mereka semua hidup di tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah Saw). Oleh karena itu, ketiga kurun ini kemudian dikenal dengan sebutan Al-Qurun al-Mufadhdhalah (kurun-kurun waktu yang mendapat keutamaan). Sebagian ulama kemudian menambahkan label ash-shalih-sehingga menjadi as-salafu ash-shalih-untuk memberikan karakter pembeda dengan pendahulu kita yang lain yang datang sesudah generasi tiga kurun ini (kemudian dikenal dengan nama al-khalaf). Sehingga, seorang Salafi berarti seseorang yang mengaku mengikuti jalan para sahabat Nabi Saw., tabi’in dan tabi at-tabi’in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka.[1]
Dari definisi di atas, sebenarnya tidak ada yang salah dengan klaim salafi ini. Sebab, setiap muslim tentu mengakui legalitas kedudukan para Sahabat Nabi Saw. dan dua generasi terbaik umat Islam sesudahnya (tabi’in dan tabi’ at-tabi’in). Pengakuan kesalafian seseorang, tidak pernah menjamin bahwa yang bersangkutan benar-benar telah mengikuti jejak para as-salafu ash-shalih. Ini sama persis dengan pengakuan kemusliman siapa pun yang terkadang lebih sering berhenti pada taraf pengakuan belaka.
Namun demikian, saat ini penggunaan istilah Salafi menjadi tercemari. Karena propaganda yang begitu gencar, istilah salafi saat ini menjadi mengarah kepada kelompok gerakan Islam tertentu, di mana kelompok tersebut getol melakukan klaim dan mengaku-aku sebagai satu-satunya kelompok salaf. Terlebih lagi, mereka cenderung menyimpang dari ajaran Islam yang benar yang dianut oleh mayoritas umat Islam dari sejak zaman Rasulullah Saw. hingga saat ini. Siapakah sebenarnya kelompok yang mengklaim sebagai ‘Salafi’ yang sekarang mulai marak tersebut? Kelompok yang sekarang mengaku-aku sebagai Salafi ini, dahulu dikenal dengan Wahabi. Tidak ada perbedaan antara Salafi yang ini dengan Wahabi. Sewaktu di Jazirah Arab, mereka lebih dikenal dengan Wahabiyah Hanbaliah. Namun, ketika diekspor ke luar Saudi, mereka menamakan dirinya dengan ‘Salafi’.
2. Pengertian dan Asal-Usul Salafi Wahabi sebagai Istilah
2.1 Pengertian Salafi Wahabi
Golongan Wahabi adalah pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid at Tamimi (lahir pada tahun 1115 H di pedesaan al-Uyainah yang terletak di sebelah utara kota Riyadl (Najed), wafat di usia yang sangat tua dengan umur sekitar 90 tahun bertepatan pada tahun 1206 H), sebuah gerakan separatis yang muncul pada masa pemerintahan Sultan Salim III (1204-1222 H).  
Gerakan ini berkedok memurnikan tauhid dan menjauhkan umat manusia dari kemusyrikan . Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya menganggap bahwa selama 600 tahun umat manusia dalam kemusyrikan dan dia datang sebagai mujaddid yang memperbaharui agama mereka. Sebagian kalangan tidak menyukai istilah,”Wahabi”, dan lebih menyukai istilah “Salafi.” Salah satu alasannya, penamaan dakwah yang diemban oleh Muhammad dengan nama Wahhabiyah yang dinisbatkan kepadanya adalah penisbatan yang keliru dari sisi bahasa, karena ayahnya tidak menyebarkan dakwah ini. Pengetahuan agamanya kurang memadai, karena dia belajar ilmu agama hanya dari segelintir guru, termasuk ayahnya sendiri, dalam waktu yang sangat minim dan terputus-putus. Kenyataan ini diakui oleh beberapa ulama Wahabi, di anataranya adalah Dr. Muhammad al-Mas’ari, dia menjelaskan, sebelum ‘bersekongkol’ dengan keluarga Saud dan Inggris untuk memberontak dari kekhalifahan Turki Utsmani, dia tidak dikenal sama sekali ketokohan dan keulamaannya oleh para ulama yang sezaman dengannya.
Muhammad ibnu Abdul Wahab juga gemar membaca berita dan kisah-kisah para pengaku kenabian, seperti Musailamah al-Kadzab, Sajah, Aswad al-Unsi, dan Thulaihah al-Asadi. Sejak masa studinya yang singkat itu, telah tampak darinya gelagat penyimpangan yang besar, sehingga ayahnya dan para gurunya mengingatkan masyarakat akan bahaya penyimpangannya. Mereka bertutur, “Anak ini akan tersesat dan akan menyesatkan banyak orang yang Alloh sengsarakan dan jauhkan dari rahmat-Nya!”
Pada tahun 1143 H., Muhammad ibnu Abdul Wahab mulai menampakkan dakwahnya terhadap aliran barunya itu, akan tetapi ayahnya bersama para masyayikh dan guru-guru besar di sana berdiri tegak menghalau kesesatannya itu. Mereka membongkar kebatilan ajakannya, sehingga dakwahnya tidak laku. Barulah ketika ayahnya wafat pada tahun 1153 H., ia mulai leluasa untuk menebar kembali ‘pesona’nya. Ia menularkan kembali ajakannya di kalanagan para awam yang lugu dan tak tahu banyak tentang agama, sehingga mereka dengan mudah mau mengikuti ajakannya dan mendukungnya.
Para ulama mencap Ibnu Abdul Wahab sebagai anak durhaka. Terlebih, ayah kandungnya yang seorang qadhi, pakar ilmu fikih mazhab Hanbali, dan faham betul tentang ajaran Islam serta seluk-beluk masyarakatnya, telah membantah keyakinan sesat anaknya itu yang telah menuduh umat Islam melakukan bid’ah dan syirik. Atas kehadiran sekte sempalan ini, masyarakat di Huraimila bangkit dan hampir-hampir membuat Muhammad Ibnu Abdul Wahab terbunuh. Kemudian, ia melarikan diri ke kota ‘Uyainah. Di sana ia merapat kepada emir (penguasa, walikota) kota tersebut dan menikahi gadis dari salah seorang kerabatnya.  Dari sanalah dia memulai kembali dakwah pembid’ahan yang ia cetuskan itu. Namun tidak lama kemudian, masyarakat ‘Uyainah keberatan dengan ajakannya,sehingga mereka mengusirnya dari kota tersebut. Lalu ia pergi meninggalkan ‘Uyainah menuju Dir’iyah di sebelah timur kota Najd- sebuah daerah yang dahulu didiami oleh Musailamah al-Kadzdzab yang Di kota tersebut, ia mendapat dukungan penuh penuh dari emirnya yaitu Muhammad Ibnu Sa’ud, sehingga warga masyarakat di sana pun menyambut ajarannya dengan hangat. Saat itu, ia bertingkah laku seperti seorang mujtahid agung. Ia tidak pernah menghiraukan pendapat para imam dan ulama terdahulu.
2.2 Asal-Usul Salafi Wahabi sebagai Istilah
Awal mula munculnya “Salafi” sebagai istilah adalah di Mesir, setelah usainya penjajahan Inggris. Tepatnya saat muncul gerakan pembaharuan Islam (al-ishlah as-dini) yang dipimpin oleh Jamaluddin al-Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh, di akhir abad ke-19 Masehi, yang dikenal dengan gerakan Pan Islamisme. Untuk menumbuhkan rasa patriotisme dan fanatik yang tinggi terhadap perjuangan umat Islam saat itu, di samping membendung pengaruh sekulerisme, penjajahan dan hegemoni Barat atas dunia Islam, Muhammad Abduh mengenalkan istilah “Salafi”.
Lalu ,dari manakah munculnya istilah “Salafi” untuk menggelari orang yang mengklaim dirinya sebagai satu-satunya penerus ajaran as-salafu ash-shalih, yakni para sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabi’in? Nashiruddin al-Albani-lah yang pertama kali mempopulerkan istilah ini, sebagaimana terekam dalam sebuah dialognya dengan salah satu pengikutnya, yaitu Abdul Halim Abu Syuqqah, pada bulan Juli 1999/Rabiul Akhir 1420 H.
Seiring dengan kelihaiannya dalam ‘mengaduk-aduk’ hadis, Albani sebagai pendatang baru di ranah Wahabi, juga lihai dalam meracik nama baru untuk me-refresh dan meremajakan faham yang kian memiliki image negatif di dunia Islam itu. Dia sangat berjasa bagi kelanjutan dakwah Salafi Wahabi dengan istilah “salafi”-nya itu.
3. Sepak Terjang Gerakan dan Pemikiran Wahabi di Saudi Arabia
3.1 Sejarah Salafi Wahabi di Saudi Arabia
Aliran Wahabiah, yang mempunyai pengaruh pada pemikiran pembaharuan di abad ke-19 M. Pembinanya adalah Muhammad ibnu Abdul Wahab (1703-1787)  yang berasal dari Nejd di Arabia. Setelah menyelesaikan pelajarannya di Madinah ia pergi merantau ke Basrah dan tinggal di kota ini selama empat tahun. Selanjutnya ia pindah ke Baghdad dan di sini ia memasuki hidup perkawinan dengan seorang wanita kaya. Lima tahun kemudian, setelah istrinya meninggal dunia, ia pindah ke Kurdistan, kemudian ke Hamdan dan ke Isfahan. Setelah bertahun-tahun merantau ia akhirnya kembali ke tempat kelahirannya di Nejd.
Pemikiran yang dicetuskan Muhammad ibnu Abdul Wahab untuk memperbaiki kedudukan umat Islam timbul bukan sebagai reaksi terhadap suasana politik seperti yang terdapat di Kerajaan Usmani dadn Kerajaan Mughal, tetapi sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam di waktu itu. Kemurnian paham tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat  yang semenjak abad ke-13 M memang tersebar luas di dunia Islam.
Di tiap negara Islam yang dikunjunginya, Muhammad ibnu Abdul Wahab melihat kuburan-kuburan Syekh tarekat bertaburan. Tiap kota, bahkan juga kampung-kampung, mempunyai kuburan syekh atau wali masing-masing. Ke kuburan-kuburan itu umat Islam pergi naik haji dan meminta pertolongan dari syekh atau wali yang dikuburkan di dalamnya, untuk menyelesaikan problema hidup mereka sehari-hari. Syekh atau wali yang telah meninggal itu dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi manusia di alam ini.
Karena pengaruh tarekat ini,  permohonan dan doa tidak lagi langsung dipanjatkan kepada Tuhan, tetapi melalui syafaat syekh atau wali tarekat, yang dipandang orang yang dapat mendekati Tuhan dan dapat memeperoleh rahmat-Nya.
Sebagaimana dilihat oleh Muhammad ibnu Abdul Wahab, kemurnian tauhid dirusak bukan hanya oleh pemujaan pada syekh dan wali. Paham animisme masih mempengaruhi keyakinan umat Islam. Kaum Muslimin pergi ke tempat-tempat seperti itu (pemakam an syekh atau wali) untuk meminta pertolongan dalam mengatasi persoalan-persoalan hidup mereka. Tuhan, yang kepada-Nyalah seharusnya dipanjatkan do’a dan permohonan, telah dilupakan.
Keyakinan seperti ini, menurut paham Muhammad ibnu Abdul Wahab telah merupakan syirik atau politeisme. Dan syirik adalah dosa terbesar dalam Islam, dosa yang tak dapat diampuni Tuhan.
Soal tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam, dan oleh karena itu tidak mengherankan kalau Muhammad ibnu Abdul Wahab memusatkan perhatian pada soal ini. Ia berpendapat:
1. Yang boleh dan harus disembah hanyalah Tuhan,dan orang yang menyembah selain dari Tuhan telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh.
2. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan lagi dari Tuhan, tetapi dari syekh atau wali dan dari kekuatan gaib. Orang Islam demikian juga telah menjadi musyrik.
3. Menyebut nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai perantara dalam doa juga merupakan syirik.
4. Meminta syafaat selain Tuhan adalah juga syirik.
5. Bernazar kepada selain dari Tuhan juga syirik.
6. Memperoleh pengetahuan selain dari Alquran, Hadis dan qiyas (analogi) merupakan kekufuran.
7. Tidak percaya kepada kada dan kadar Tuhan juga merupakan kekufuran.
8. Demikian pula menafsirkan Alquran dengan takwil (interpretasi bebas) adalah kufur.
Semua yang tersebut di atas ia anggap bid’ah , dan bidah adalah kesesatan. ia berpendapat bahwa umat Islam harus kembali kepada kepada Islam asli. Yang dimaksudnya dengan Islam asli, ialah Islam sebagaimana yang dianut dan dipraktekan di zaman Nabi, sahabat serta tabi’in, yaitu sampai abad ke-3 Hijriah.
Kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek lain yang timbul sesudah zaman itu bukanlah ajaran asli dari Islam dan harus ditinggalkan. Dengan demikian taklid dan patuh kepada pendapat ulama sesudah abad ke-3 H tidak dibenarkan. Pendapat dan penafsiran ulama tidaklah merupakan sumber dari ajaran-ajaran Islam. Sumber yang diakuinya hanyalah Alquran dan Hadis. Dan untuk memeahami ajaran-ajaran yang terkandung dalam kedua sumber itu dipakai ijtihad. Baginya pintu ijtihad tidak tertutup. Sama dengan Syah Waliyullah, Muhammad Abd al-Wahab adalah juga pengikut Ibn Taimiyah.
Muhammad ibnu Abdul Wahab bukanlah hanya seorang teoris, tetapi juga pemimpin yang dengan aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat sokongan dari Muhammad bin Su’ud dan putranya Abdul al-Aziz di Nejd. Paham-paham Muhammad Abd al-Wahab mulai tersiar dan golongannya bertambah kuat, sehingga di tahun 1773 mereka dapat menduduki Riyadh. Di tahun 1787 Muhammad ibnu Abdul Wahab meninggal dunia, tetapi ajaran-ajarannya tetap hidup dengan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiah.
Kemajuan-kemajuan yang mereka peroleh mencemaskan bagi Kerajaan Usmani di Istambul. Sultan Mahmud II memberi perintah kepada Khedewi Muhammad Ali di Mesir supaya mematahkan gerakan Wahabiah itu. Ekspedisi yang dikirim dari Mesir dapat membebaskan Madinah dan Mekah di tahun 1813. Kedua kota ini jatuh ke bawah kekuasaan Wahabiah di tahun 1804 dan 1806. Tetapi di permulaan abad ke-20 M gerakan Wahabiah bangkit kembali dan Raja Abd al-Aziz dapat menduduki Mekah di tahun 1924 dan setahun kemudian juga Madinah dan Jeddah. Mulai dari waktu itu mazhab dan kekuatan politik Wahabiah mempunyai kedudukan yang kuat di Tanah Suci.
Pemikiran-pemikiran Muhammad ibnu Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad ke-19 M adalah yang berikut:
1. Hanya Alquran dan Hadis-lah yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama tidak merupakan sumber.
2. Taklid kepada ulama tidak dibenarkan.
3. Pintu ijtihad terbuka dan tidak tertutup.
3.2 Sisi Hitam Wahabi
Tidak ada yang dapat menyangkal, bahkan hingga sekte Salafi Wahabi sekalipun, bahwa sejarah Salafi Wahabi penuh dengan aksi-aksi kotor dan darah umat Islam. Para ahli sejarah yang menulis tentang sejarah Wahabi mengakui kenyataan itu. Tindakan kurang terpuji tersebut mereka lakukan atas nama tauhid dan perjuangan membela agama Allah. Jika ahli sejarah menyatakan:
“Pada periode itu fenomena kepala-kepala terputus dari umat Islam yang dituduh menolak faham Wahabi sangat banyak (bergelimpangan dimana-mana), belum lagi fenomena pemotongan tangan, kaki, pemusnahan, dan penyiksaan jasmani dan rohani.”
Ada beberapa efek samping yang dikhawatirkan dari keberadaan faham Salafi Wahabi ini terkait sikap umat Islam. Secara garis besarnya ada tiga kemungkinan, yaitu: Pertama, akan dapat mengakibatkan seseorang kafir atau keluar dari Islam, karena menolak akidah yang dianggapnya sesat ini, jika dia meyakini bahwa ajaran itu benar-benar merepresentasikan Islam itu sendiri. Kedua, jika dia tidak meyakini bahwa ajaran itu dari Islam, maka dia akan menolak faham Salafi Wahabi ini. Efek selanjutnya yang mungkin berkembang adalah, bisa jadi orang tersebut akan membenci dan antipati terhadap Salafi Wahabi, sehingga perpecahan umat kian meruncing. Ketiga, bisa jadi seseorang justru menjadi pendukung dan pengikut setia Salafi Wahabi, untuk kemudian mengamalkan ajarannya. Yang ketiga inipun akan menjadi bumerang dalam tubuh umat Islam, karena akan ada ‘perebutan’ pengikut. Selain itu, menjadi lengkaplah ketika tidak ada titik temu antara ajaran Salafi Wahabi dengan ajaran umat Islam yang mayoritas.
Dalam sejarah perjuangan Wahabi, tidak satu pun mereka yang melakukan perjuangan menentang orang-orang Yahudi dan Kristen yang kala itu datang menjajah negara-negara muslim dan berupaya menghancurkan khilafah Islamiyah Turki Utsmani.  Perjuangan mereka hanya dipenuhi dengan air mata dan darah umat Islam melalui berbagai penyerangan dan pembunuhan yang mereka lakukan kepada penduduk Makah, Thaif, Madinah, Riyad, Qatar, Bashrah, Karbala, Nejef, Qum, Omman, Kuwait, negeri-negeri Syam, dan negeri-negeri Islam lainnya.
Pada tahun 1746/1159, Wahabi-Sa’ud secara resmi memproklamasikan jihad terhadap siapa pun yang mempunyai pemahaman tauhid berbeda dari mereka. Kampanye ini diawali dengan tuduhan syirk (polytheist), murtad, dan kafir kepada pihak-pihak yang berbeda paham. Setiap muslim yang tidak mempunyai pemahaman dan praktik ajaran Islam yang persis seperti Wahabi, mereka anggap murtad, dan karenanya memerangi mereka dibolehkan, atau bahkan diwajibkan. Dengan demikian, predikat muslim-menurut wahabi-hanya merujuk secara ekslusif kepada para pengikut Wahabi. Sekitar lima belas tahun setelah proklamasi jihad ini, Wahabi sudah menguasai sebagian besar Jazirah Arab, termasuk Najd, Arabia Tengah, ‘Asir, dan Yaman.
Pada tahun 1163 H, Salafi Wahabi menyerang dan memporak-porandakan kampung asal Muhammad ibnu Abdul Wahab, serta berhasil membunuh Utsman ibnu Hamad ibnu Mu’ammar saat saat dia sedang shalat di dalam masjidnya pada hari Jumat.  Bahkan, Muhammad Ibnu Abdul Wahab menuduhnya kafir. Merasa belum puas dengan terbunuhnya Utsman ibnu Hamad, Muhammad Ibnu Abdul Wahab pun memerintahkan untuk menghabiskan nyawa penduduk kampung itu, bahkan menjadikan para wanitanya menjadikan budak belian.
Pada tahun 1187, Raja Abdul Aziz keluar membawa pasukan yang cukup besar untuk menyerang Riyad. Di sana mereka tinggal beberapa hari, menhancurkan bangunan-bangunan, observatorium, menara, dan membunuh banyak penduduk muslim dari kaum lelaki, perempuan, dan anak-anak. Mereka keluar dari Riyad dengan membawa harta rampasan penduduk untuk menutupi kebutuhan hidup para pengikut Muhammad ibnu Abdul Wahab dan tentara perang.
Pada bulan Dzul Qa’dah tahun 1216 H/1802 M, putra tertua Abd al-Aziz yang bernama Saud ibnu Saud menyerang Karbala bersama 12.000 pasukannya. Mereka mengepung kota Karbala, membunuhi penduduknya, menjarah makam Imam Husein cucu Nabi dan putra Ali ibnu Abi Thalib, dan membantai siapa saja yang berusaha merintangi jalan mereka. Mereka banyak mendapatkan rampasan perang. Kurang lebih 5000 (lima ribu) penduduk Karbala terbunuh.
Pada bulan Dzulqa’dah Pada tahun 1217 Hijriah bertepatan dengan tahun 1803 Masehi Salafi Wahabi juga menyerang dan memberangus kota Thaif dengan alasan membebaskannya dari kemusyrikan. Ketika itu kota Thaif berada di bawah pemerintahan as-Syarif Ghalib , gubernur kota Makah. Padahal sebelumnya, antara as-Syarif Ghalib dan Sekte Wahabi telah menjalin kesepakatan, namun mereka telah melanggarnya. Di kota itu, mereka membunuh ribuan penduduk sipil, termasuk wanita dan anak-anak. pada bulan Muharram 1248 H, Wahabi berhasil memasuki kota Makah dan menetap di sana selama 14 hari. Dalam tempo masa itulah mereka melakukan perusakan dan membuat ketetapan tentang larangan menziarahi makam para nabi dan orang-orang shaleh.
Syaikh Ja’far asy-Syaib dan beberapa ulama Islam lainnya. Beliau mati dibunuh oleh komandan bala tentara Wahabi dengan cara sadis dan kejam. Semua peristiwa kejam dan sadis di atas terjadi pada tahun 1217 H/1802 M.
Setelah Wahabi menyerang kota Thaif dan membunuh umat Islam serta ulamanya, mereka menyerang tanah mulia Makah al-Mukarramah tahun 1803 M-1804 M (1218-1219 H). Pada bulan Muharram 1220 Hijriah (1805 Masehi), Wahabi di Makah membunuh ribuan umat Islam yang sedang menunaikan ibadah haji. Penduduk Makah dilanda penyakit busung lapar akibat kezaliman yang telah dilakukan oleh Wahabi. Anak-anak dan orangtua mati kelaparan, sehingga mayat bergelimpangan di mana-mana karena Wahabi telah merampas semua harta umat Islam Makah yang mereka klaim sebagai harta ‘ghanimah’. Pendudukan Haramain ini berlangsung sekitar enam setengah tahun. Periode kekejaman ini ditandai dengan pembantaian dan pemaksaan ajaran Wahabi kepada penduduk Haramain, penghancuran bangunan-bangunan bersejarah dan pekuburan, pembakaran buku-buku selain Al-Qur’an dan Hadis, larangan merayakan Maulid Nabi, larangan pembacaan puisi Barzanji. Sebagaimana diceritakan oleh penulis Barat, Charles Allen, pada tahun 1803-1804 tersebut pasukan Wahabi menyerbu Makah dan Madinah. Mereka membunuh para syaikh dan orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Maka, pada 1804, Makah pun jatuh ke tangan Wahabi.
Setelah menguasai Makah, pada akhir bulan Dzulqa’dah 1220 H, mereka juga berhasil menguasai kota Madinah. Kota Madinah akhirnya ditinggalkan dalam keadaan sepi selama beberapa hari, tanpa azan, iqamah, dan shalat.
Pada tahun 1838, tiga orang ulama dari Kabilah Umair ibnu Khalid yang mendukung orang-orang Mesir (gubernur Turki Utsmani) yang sedang menuju Ahsaa, dihukum mati. Penguasa Wahabi daerah itu, Amr ibnu ‘Ufaishan, datang menemui penguasa Bahrain (untuk meminta perlindungan dari perbuatannya).
Pada tahun 1341 H/ 1921 M tentara Wahabi telah membantai rombongan jamaah haji asal Yaman yang sedang menuju Makah tanpa sebab yang jelas.
Pada Tahun 1925, Inggris bersama penguasa Saudi (dengan Salafi Wahabi nya) merencanakan penyerbuan ke daerah Yordania bagian timur. Sedikitnya ada 250 orang tewas dan banyak yang menjadi tawanan mereka.
Dalam buku Shafahat min Tarikh al-Jazirah dipaparkan bukti-bukti konkret tentang terlalu tampaknya pembelaan Wahabi dalam berbagai kasus yang terkait dengan kepentingan Inggris dan Yahudi kala itu. Salah satu indikasinya adalah ketika dilangsungkan Kongres Dunia Islam pada 1926, para ulama dan utusan dari negara-negara dunia Islam mengusulkan untuk membersihkan kawasan Timur Tengah- seperti Palestina, Syria, Irak, dan semenanjung Jazirah Arab dari pengaruh asing, namun ulama Wahabi menolak usulan negara-negara dunia Islam tersebut. Sejak awal, Salafi Wahabi sudah mengamini “penggadaian” negeri Palestina kepada Inggris untuk diberikan kepada orang Yahudi.
Pada tahun 1926 protes massal kaum muslim mengalir dari seluruh dunia. Protes yang sama bermunculan di Iran, Irak, Mesir, Indonesia, Turki, dan negara-negara muslim lainnya. Beberapa ulama menulis traktat dan buku untuk mengabarkan kepada dunia bahwa fakta-fakta yang terjadi di Hijaz pada dasarnya adalah konspirasi karya Yahudi guna melawan Islam dengan berkedok “pemurnian tauhid”. Tujuan utamanya adalah menghapus secara sistematis akar sejarah umat Islam, sehingga nantinya kaum muslimin kehilangan jejak sejarah dan asal-usul keagamaannya.
Dalam Muktamar al-Aqir  tahun 1341 H di distrik Ahsaa telah ditandatangani sebuah perjanjian resmi antara pihak Wahabi dengan pemerintah Inggris. Surat perjanjian itu ditandatangani oleh Raja Abdul Aziz. Selain itu, utusan Wahabi juga telah datang menghadiri “Muktamar tentang Tempat Hijrah Bangsa Yahudi ke Palestina”.
Pada 15 Mei 1948 ketika kecamuk perang Palestina masih saja berlanjut, Wahabi sangat khawatir jika perang berujung pada kemenangan persatuan negara-negara Arab yang diketuai oleh Mesir dalam merebut Palestina dari tangan Israel. Kondisi itu akan mengancam eksistensi negara mereka mengingat sejarah hubungan mereka dengan Mesir (salah satu provinsi Khilafah Turki Utsmani saat itu) sangat tajam, karena klan Saudi dianggap telah merongrong kedaulatan Khilafah Turki Utsmani bekerjasama dengan penjajah Inggris untuk mendirikan negara baru. Maka pagi hari tanggal 7 Januari 1949, secara diam-diam, pimpinan Wahabi menghubungi perwakilan Amerika dan Inggris di Kota Jeddah untuk meminta bantuan agar peperangan Palestina segera diakhiri dengan perundingan damai antara Arab dan Israel.
Pada tahun 1959, Kerajaan Saudi melarang umat Islam Syiria untuk berhaji. Bahkan pada tahun itu, mereka juga tidak mengizinkan umat Islam asal Mesir untuk menunaikan ibadah haji kecuali dengan harga tinggi.
Pada tahun 1969, saat diwawancarai koran Washington Post, pemimpinn Wahabi mengakui adanya kedekatan dan hubungan khusus antara mereka dengan Yahudi. Oleh karena itu, tidak aneh jika ulama-ulama Wahabi juga menyuarakan hal yang sama tentang Israel, seperti fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, a-Albani yang membela kepentingan Yahudi.
Pada tahun 1408 H/ 1986 M. Insiden itu bermula dari jamaah haji Iran yang meneriakkan yel-yel kritikan terhadap Barat dan sekutunya, di dekat pemondokan mereka di Makah. “Kematian untuk Amerika (al-maut li amrika), kematian buat Rusia, kematian buat Israil! Wahai umat Islam, bersatulah (ayyuhal muslimun ittahidu),” demikian mereka terus berteriak sambil berjalan menuju Masjidil Haram. Ketika para jamaah haji yang berunjuk rasa mendekati Masjidil Haram untuk masuk menunaikan ibadah, tentara dan polisi Saudi Arabia menghadang dan mengepung mereka, untuk kemudian membantai mereka dengan tembakan dan hujan peluru. Sedikitnya ada 329 jamaah haji tewas, sedangkan yang terluka parah jumlahnya ribuan.
Sebagian ahli sejarah menyebutkan, kemunculan Salafi Wahabi belumlah lama, baru sekitar 250 tahun lalu, namun efeknya begitu besar bagi hilangnya jejak-jejak peninggalan Islam. Sebelum kehadiran mereka, kehadiran bersejarah itu terjaga dengan rapi, dari zaman Rasulullah Saw. sampai tumbangnya khilafah Turki Utsmani (pada tahun 1924 M) yang selama ini menjaga dan melestarikan peninggalan-peninggalan Islam tersebut di Jazirah Arab.
3.3 Bentuk-Bentuk Penyelewengan Wahabi dalam Bentuk Hal Amanah Ilmu
a. Pada tahun 1224, misalnya, mereka membumi hanguskan Perpustakaan al-Aidrusiyah dan Perpustakaan al-Handawaniyah di Hadhramaut Yaman, di mana puluhan ribu buku turats dan manuskrip sangat berharga yang tersimpan di kedua perpustakaan tersebut habis tanpa tersisa.
b. Sengaja mentahkik,[2] mentakhrij[3], dan meringkas kitab-kitab hadis yang jumlah halamannya besar untuk menyembunyikan hadis-hadis yang tidak mereka sukai.
c. Membuang hadis-hadis yang tidak mereka sukai dalam buku-buku yang mereka terbitkan, sehingga tidak sesuai dengan buku asli yang diterbitkan penerbit lain.
d. Memerintahkan ulama mereka untuk mengarang suatu buku, lalu mengatasnamakan buku itu dengan nama orang lain.
Contohnya adalah kitab al-Asma wa ash-Shifat yang mereka nisbatkan kepada Ibnu Taimiyah, padahal Ibnu Taimiyah tidak pernah mengarang kitab tersebut. Sebab, dari pandangan Salafi Wahabi, keberadaan buku itu dapat menandingi kitab al-Asma wa ash-Shifat karya Imam Baihaqi.
e. Membakar Puluhan Ribu Buku-Buku Perpustakaan
Di antara kasus pembakaran buku-buku yang paling fenomenal adalah pembakaran buku-buku yang ada di perpustakaan Maktabah Arabiyah di Makah al-Mukarramah. Perpustakaan ini termasuk perpustakaan yang paling berharga dan paling bernilai historis. Sedikitnya ada 60.000 buku-buku langka dan sekitar 40.000 masih berupa manuskrip yang sebagiannya adalah hasil diktean dari baginda Nabi Saw. kepada para sahabatnya, sebagian lagi dari Khulafaur Rasyidin yang empat, dan para sahabat Nabi yang lainnya. Pada 1224 H., kembali terjadi musibah besar dalam hal warisan ilmu para ulama as-salaf ash-shalih. Tentara Salafi Wahabi yang dipimpin oleh Ibnu Qamala melenyapkan perpustakaan Hadhramaut tanpa bekas.
3.4 Tujuh kesamaan antara golongan Salafi Wahabi dengan Kahawarij
Pertama, sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir, kelompok Salafi Wahabi sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat, dan takhayul. Abdullah ibnu Umar dalam mensifati kelompok Khawarij meriwayatkan sebuah hadis dari Nabi Saw. yang berbunyi, “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman.”[4]
Kedua, sebagaimana kelompok Khawarij memahami Al-Qur’an dan hadis secara harfiah dan kaku, kelompok Salafi Wahabi pun memiliki pemahaman yang sama. Misalnya, mereka sangat kaku dalam memahami perintah-perintah Rasulullah Saw. Kalimat perintah itu banyak jenisnya, ada yang menunjukkan makna wajib, sunnah, boleh, makruh, dan haram. Begitu juga ke-harfiah-an Salafi Wahabi dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah Swt. seperti kata “yad, wajh, istiwa, nuzul, kursi” dan kalimat sejenisnya. Sehingga mereka terjerumus ke dalam penyerupaan dengan makhluk-Nya (tasybih), sama dengan akidah Yahudi.
Ketiga, sebagaimana kelompok Khawarij disifati sebagaimana oleh hadis Nabi sebagai “pembunuh umat Islam”, sedang para penyembah berhala mereka biarkan”, maka sejarah Salafi Wahabi pun telah melaksanakan perilaku keji semacam itu.
Keempat, sebagaimana kelompok Khawarij memiliki banyak keyakinan yang aneh dan keluar dari kesepakatan mayoritas kaum muslimin, kaum Salafi Wahabi pun memiliki kekhususan yang sama. Misalnya, Salafi Wahabi menuduh kaum muslim yang berziarah kubur Rasulullah dengan sebutan syirik, bid’ah. Padahal mayoritas ulama menyatakan bahwa ziarah kubur Nabi Saw merupakan bentuk qurbah (ibadah).
Kelima, seperti kelompok Khawarij memiliki jiwa jumud (kaku), mempersulit diri dan mempersempit ruang lingkup pemahaman ajaran agama, maka kaum Salafi Wahabi pun mempunyai kendala yang sama. Mereka tidak berani untuk mempertanggungjawabkan tuduhannya tersebut (bid’ah, syirik) dengan berdiskusi terbuka dengan kelompok-kelompok yang dianggap sesat.
Keenam, sebagaimana kelompok Khawarij telah keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajaran yang menyimpang, maka Wahabi pun memiliki penyimpangan yang sama. Oleh karena itu, ada beberapa hadis tentang Khawarij yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya, yang dapat pula diterapkan pada kelompok Wahabi.
Ketujuh, sebagaimana kelompok Khawarij meyakini bahwa “negara muslim” (Dar al-Salam) jika penduduknya banyak melakukan dosa besar maka dapat dikategorikan “negara zona perang” (Dar al-Harb), kelompok radikal Salafi Wahabi pun meyakini hal tersebut. Sekarang ini, kita dapat melihat bagaimana kelompok-kelompok radikal Salafi Wahabi melakukan aksi teror di berbagai tempat, yang tidak jarang kaum muslimin juga menjadi korbannya.
Demikian gambaran mengenai gerakan dan pemikiran Wahabi di Saudi Arabia. Semoga kita senantiasa dalam lindungan dan rahmat-Nya serta tetap lurus dalam mencari ilmu Allah Swt yang sangat dalam ini. Amiin













                                                   BAB III
PENUTUP

1.  Kesimpulan
1. Kata salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada as salaf. Kata as-salaf sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Adapun makna terminologis As-Salaf adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah Saw. dalam hadisnya, “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in),kemudian yang mengikuti mereka (tabi’at-tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Awal mula munculnya “Salafi” sebagai istilah adalah di Mesir, setelah usainya penjajahan Inggris. Tepatnya saat muncul gerakan pembaharuan Islam (al-ishlah as-dini) yang dipimpin oleh Jamaluddin al-Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh, di akhir abad ke-19 Masehi, yang dikenal dengan gerakan Pan Islamisme. Untuk menumbuhkan rasa patriotisme dan fanatik yang tinggi terhadap perjuangan umat Islam saat itu, Muhammad Abduh mengenalkan istilah “Salafi”. istilah “Salafi” untuk menggelari orang yang mengklaim dirinya sebagai satu-satunya penerus ajaran as-salafu ash-shalih, yakni para sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabi’in,Nashiruddin al-Albani-lah yang pertama kali mempopulerkan istilah  ini, sebagaimana terekam dalam sebuah dialognya dengan salah satu pengikutnya.
3. Aliran Wahabiah, yang mempunyai pengaruh pada pemikiran pembaharuan di abad ke-19 M. Pembinanya adalah Muhammad ibnu Abdul Wahab (1703-1787)  yang berasal dari Nejd di Arabia. Pemikiran yang dicetuskan Muhammad ibnu Abdul Wahab untuk memperbaiki kedudukan umat Islam timbul sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam di waktu itu.
4. Dalam sejarah perjuangan Wahabi, tidak satu pun mereka yang melakukan perjuangan menentang orang-orang Yahudi dan Kristen yang kala itu datang menjajah negara-negara muslim dan berupaya menghancurkan khilafah Islamiyah Turki Utsmani.  Perjuangan mereka hanya dipenuhi dengan air mata dan darah umat Islam melalui berbagai penyerangan dan pembunuhan yang mereka lakukan kepada penduduk Makah, Thaif, Madinah, Riyad, Qatar, Bashrah, Karbala, Nejef, Qum, Omman, Kuwait, negeri-negeri Syam, dan negeri-negeri Islam lainnya.
5. Salah satu di antara kesamaan antara golongan Salafi Wahabi dengan Kahawarij adalah sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir, kelompok Salafi Wahabi sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat, dan takhayul. Abdullah ibnu Umar dalam mensifati kelompok Khawarij meriwayatkan sebuah hadis dari Nabi Saw. yang berbunyi, “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman.”
2.  Saran
Demikianlah makalah ini saya buat dengan sebaik-baiknya. Apabila ada kekurangan ataupun kekeliruan, kritik dan saran dari Bapak Dosen sangat saya harapkan demi kesempurnaannya makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Idahram, Syaikh.2011.Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik.Yogyakarta: Pustaka Pesantren
Idahram, Syaikh.2011.Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi.Yogyakarta: Pustaka Pesantren
Idahram, Syaikh.2011.Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi.Yogyakara: Pustaka Pesantren
Nasution, Harun.2003.Pembaharuan dalam Islam.Jakarta: Bulan Bintang
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Dr.2008.Kitab Tauhid 1.Jakarta: Darul Haq
Tim Ahli Ilmu Tauhid.2008.Kitab Tauhid 2.Jakarta: Darul Haq
Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.2012.Risalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah dari Pembiasaan Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah-Amaliah NU.Surabaya: Khalista



[1] Dari kata ini kita kemudian sering mendengar kata bentukan lainnya, seperti Salafiyah (yang berarti ajaran atau paham Salaf) atau Salafiyun/Salafiyin yang merupakan bentuk plural dari kata Salafi.
[2] Tahkik: upaya penelitian secara mendalam terhadap sebuah manuskrip (makthuthat) sebelum mencetak dan menerbitkan manuskrip tersebut. Tahkik biasanya terjadi pada naskah kuno yang masih ditulis tangan. Seorang muhaqqiq (pentahkik), selain menyusun naskah kuno tersebut menjadi rapi dan terbaca sehingga siap dicetak, biasanya juga memberikan komentar-komentar terhadap naskah yang ditahkiknya itu.
[3] Takhrij: upaya penelitian terhadap suatu hadis untuk menunjukkan atau menisbatkan hadis tersebut kepada sumber-sumbernya yang asli, yang mengeluarkannya secara lengkap dengan sanadnya. Terkadang, kata takhrij juga dimaknai sebagai upaya penelitian terhadap tingkat kesahihan sebuah hadis. Takhrij juga diartikan sebagai upaya memisahkan antara hadis yang shahih, hasan, dhoif dan palsu atau mungkar dalam suatu kitab kumpulan hadis oleh seorang mufti atau muhadits. Misalnya, kitab Sunan Ibnu Majah ditakhrij untuk mengeluarkan hadis-hadisnya yang shahih saja, sehingga terbitlah kitab Shahih Ibnu Majah.
[4] Shahih al-Bukhari jilid.4, h. 197

No comments: