BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sikap ekstrem dalam hal dan bentuk apa
pun jelas bukan sesuatu yang menyenangkan dalam kehidupan. Ekstremisme dalam
kehidupan agama dapat menimbulkan dampak lebih berbahaya lagi, karena agama
juga melibatkan emosi yang bisa menjadi sangat bernyala-nyala. Banyak penyebab
ekstremisme kegamaan, mulai dari pemahaman harfiah dan sepotong-potong terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an misalnya, pertarungan politik dan kekuasaan, sampai kepada
masalah internal lainnya dalam lingkungan umat Islam sendiri maupun pada
tingkat negara-bangsa.
Pada akhir abad ke-17, Jazirah Arab masih
terbagi empat wilayah, bagian utara di Syam (Syiria), timur di Najd, barat di
Hijaz, dan selatan di Yaman. Tapi awal abad ke-18, Gubernur Najd, Muhammad ibnu
Saud, yang didukung seorang ulama bernama Muhammad bin Abdul Wahab memisahkan
diri dari Khilafah Utsmani. Pertama kali muncul, gerakan ini langsung dihabisi
oleh Khalifah Utsmani yang memerintahkan gubernur Mesir, Raja Fuad, untuk
memeranginya. Dalam pertempuran ini, Muhammad ibnu Saud dapat dikalahkan. Akan
tetapi, Abdul Aziz bin Abdurrahman bin Muhammad Saud, cucu Muhammad Saud,
melarikan diri ke luar negeri untuk menghimpun kekuatan. Begitu ada kesempatan,
dengan dukungan pasukan yang sangat militan, Abdul Aziz menyerang Makah. Begitu
masuk Makah, situs-situs sejarah perkembangan Islam juga dibongkar: rumah
Sayyidina Ali dijadikan kandang keledai dan lain sebagainya.
Salafi Wahabi bukanlah Khawarij. Karena
Khawarij muncul pada abad ke-37 Hijriyah di awal perkembangan Islam, sedangkan
Wahabi baru hadir di abad ke-18 Masehi, atau 1200 tahun setelah masa Rasulullah
Saw yang ditandai dengan dakwah Syaikh Muhammad ibnu Abdul Wahab. Namun, ada
beberapa sisi kesamaan. Istilah Wahabi yang belakangan ini sering dikaitkan
oleh sejumlah kalangan dengan radikalisme. Meski banyak gambaran yang serba
negatif tentang pemikiran dan gerakan Wahabiyyah, sampai kini ia merupakan
paham atau aliran keagamaan yang dianut dan diterapkan pemerintahan Kerajaan
Arab Saudi.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut di atas maka dapat dibuat rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Salafi?
2. Siapa sebenarnya Salafi Wahabi?
3. Bagaimana sepak terjang gerakan dan pemikiran Wahabi di Saudi
Arabia?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah
ini adalah:
1. Mendeskripsikan pengertian Salafi secara rapi di kalangan
mahasiswa dengan tujuan supaya mahasiswa tanggap dan waspada terhadap fakta.
2. Mendeskripsikan perihal terkait Salafi Wahabi serta
mendeskripsikan mengenai sepak terjang gerakan dan pemikiran Wahabi di
Saudi Arabia.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Salafi
Kata salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada as salaf. Kata as-salaf sendiri secara
bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita.
Adapun makna terminologis As-Salaf adalah
generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah Saw. dalam hadisnya, “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang
mengikuti mereka (tabi’in),kemudian yang mengikuti mereka (tabi’at-tabi’in).” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Berdasarkan
hadis ini, maka yang dimaksud dengan as-Salaf adalah para
sahabat Nabi Saw., kemudian tabi’in (pengikut Nabi setelah masa sahabat), lalu tabi’at-tabi’in (pengikiut Nabi setelah masa tabi’in, termasuk di dalamnya para Imam Mazhab karena
mereka semua hidup di tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah Saw). Oleh
karena itu, ketiga kurun ini kemudian dikenal dengan sebutan Al-Qurun al-Mufadhdhalah (kurun-kurun waktu yang mendapat
keutamaan). Sebagian ulama kemudian menambahkan label ash-shalih-sehingga menjadi as-salafu ash-shalih-untuk memberikan karakter pembeda
dengan pendahulu kita yang lain yang datang sesudah generasi tiga kurun ini
(kemudian dikenal dengan nama al-khalaf). Sehingga,
seorang Salafi berarti seseorang yang mengaku mengikuti jalan para sahabat Nabi
Saw., tabi’in dan tabi at-tabi’in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman
mereka.[1]
Dari definisi
di atas, sebenarnya tidak ada yang salah dengan klaim salafi ini. Sebab, setiap muslim tentu mengakui legalitas
kedudukan para Sahabat Nabi Saw. dan dua generasi terbaik umat Islam sesudahnya
(tabi’in dan tabi’ at-tabi’in). Pengakuan
kesalafian seseorang, tidak pernah menjamin bahwa yang bersangkutan benar-benar
telah mengikuti jejak para as-salafu ash-shalih. Ini sama
persis dengan pengakuan kemusliman siapa pun yang terkadang lebih sering
berhenti pada taraf pengakuan belaka.
Namun
demikian, saat ini penggunaan istilah Salafi menjadi tercemari. Karena
propaganda yang begitu gencar, istilah salafi saat ini menjadi mengarah kepada
kelompok gerakan Islam tertentu, di mana kelompok tersebut getol melakukan
klaim dan mengaku-aku sebagai satu-satunya kelompok salaf. Terlebih lagi,
mereka cenderung menyimpang dari ajaran Islam yang benar yang dianut oleh
mayoritas umat Islam dari sejak zaman Rasulullah Saw. hingga saat ini. Siapakah
sebenarnya kelompok yang mengklaim sebagai ‘Salafi’ yang sekarang mulai marak
tersebut? Kelompok yang sekarang mengaku-aku sebagai Salafi ini, dahulu dikenal
dengan Wahabi. Tidak ada perbedaan antara Salafi yang ini dengan Wahabi.
Sewaktu di Jazirah Arab, mereka lebih dikenal dengan Wahabiyah Hanbaliah. Namun, ketika diekspor ke luar Saudi,
mereka menamakan dirinya dengan ‘Salafi’.
2. Pengertian
dan Asal-Usul Salafi Wahabi sebagai Istilah
2.1 Pengertian Salafi Wahabi
Golongan Wahabi adalah pengikut Muhammad
bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid at
Tamimi (lahir pada tahun 1115 H di pedesaan al-Uyainah yang terletak di
sebelah utara kota Riyadl (Najed), wafat di usia yang sangat tua dengan umur
sekitar 90 tahun bertepatan pada tahun 1206 H), sebuah gerakan separatis
yang muncul pada masa pemerintahan Sultan Salim III (1204-1222 H).
Gerakan ini berkedok memurnikan tauhid dan
menjauhkan umat manusia dari kemusyrikan . Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya
menganggap bahwa selama 600 tahun umat manusia dalam kemusyrikan dan dia datang
sebagai mujaddid yang memperbaharui agama mereka. Sebagian kalangan tidak
menyukai istilah,”Wahabi”, dan lebih menyukai istilah “Salafi.” Salah satu alasannya,
penamaan dakwah yang diemban oleh Muhammad dengan nama Wahhabiyah yang
dinisbatkan kepadanya adalah penisbatan yang keliru dari sisi bahasa, karena ayahnya
tidak menyebarkan dakwah ini. Pengetahuan
agamanya kurang memadai, karena dia belajar ilmu agama hanya dari segelintir
guru, termasuk ayahnya sendiri, dalam waktu yang sangat minim dan
terputus-putus. Kenyataan ini diakui oleh beberapa ulama Wahabi, di anataranya
adalah Dr. Muhammad al-Mas’ari, dia menjelaskan, sebelum ‘bersekongkol’ dengan
keluarga Saud dan Inggris untuk memberontak dari kekhalifahan Turki Utsmani,
dia tidak dikenal sama sekali ketokohan dan keulamaannya oleh para ulama yang
sezaman dengannya.
Muhammad ibnu
Abdul Wahab juga gemar membaca berita dan kisah-kisah para pengaku kenabian,
seperti Musailamah al-Kadzab, Sajah, Aswad al-Unsi, dan Thulaihah al-Asadi.
Sejak masa studinya yang singkat itu, telah tampak darinya gelagat penyimpangan
yang besar, sehingga ayahnya dan para gurunya mengingatkan masyarakat akan bahaya
penyimpangannya. Mereka bertutur, “Anak ini akan tersesat dan akan
menyesatkan banyak orang yang Alloh sengsarakan dan jauhkan dari rahmat-Nya!”
Pada tahun
1143 H., Muhammad ibnu Abdul Wahab mulai menampakkan dakwahnya terhadap
aliran barunya itu, akan tetapi ayahnya bersama para masyayikh dan guru-guru besar di sana berdiri
tegak menghalau kesesatannya itu. Mereka membongkar kebatilan ajakannya,
sehingga dakwahnya tidak laku. Barulah ketika ayahnya wafat pada tahun 1153
H., ia mulai leluasa untuk menebar kembali ‘pesona’nya. Ia menularkan
kembali ajakannya di kalanagan para awam yang lugu dan tak tahu banyak tentang
agama, sehingga mereka dengan mudah mau mengikuti ajakannya dan mendukungnya.
Para ulama
mencap Ibnu Abdul Wahab sebagai anak durhaka. Terlebih, ayah kandungnya yang
seorang qadhi, pakar ilmu fikih mazhab Hanbali, dan
faham betul tentang ajaran Islam serta seluk-beluk masyarakatnya, telah
membantah keyakinan sesat anaknya itu yang telah menuduh umat Islam melakukan
bid’ah dan syirik. Atas kehadiran sekte sempalan ini, masyarakat di Huraimila
bangkit dan hampir-hampir membuat Muhammad Ibnu Abdul Wahab terbunuh. Kemudian,
ia melarikan diri ke kota ‘Uyainah. Di sana ia merapat kepada emir (penguasa, walikota) kota tersebut dan menikahi
gadis dari salah seorang kerabatnya.
Dari sanalah dia memulai kembali dakwah pembid’ahan yang ia cetuskan
itu. Namun tidak lama kemudian, masyarakat ‘Uyainah keberatan dengan
ajakannya,sehingga mereka mengusirnya dari kota tersebut. Lalu ia pergi
meninggalkan ‘Uyainah menuju Dir’iyah di sebelah timur kota Najd- sebuah daerah
yang dahulu didiami oleh Musailamah al-Kadzdzab yang Di kota tersebut, ia
mendapat dukungan penuh penuh dari emirnya yaitu Muhammad
Ibnu Sa’ud, sehingga warga masyarakat di sana pun menyambut ajarannya dengan
hangat. Saat itu, ia bertingkah laku seperti seorang mujtahid agung. Ia tidak pernah menghiraukan pendapat para
imam dan ulama terdahulu.
2.2 Asal-Usul Salafi Wahabi sebagai
Istilah
Awal mula
munculnya “Salafi” sebagai istilah adalah di Mesir, setelah usainya penjajahan
Inggris. Tepatnya saat muncul gerakan pembaharuan Islam (al-ishlah as-dini) yang dipimpin oleh Jamaluddin al-Afghani
dan muridnya, Muhammad Abduh, di akhir abad ke-19 Masehi, yang dikenal
dengan gerakan Pan Islamisme. Untuk menumbuhkan rasa patriotisme dan fanatik
yang tinggi terhadap perjuangan umat Islam saat itu, di samping membendung
pengaruh sekulerisme, penjajahan dan hegemoni Barat atas dunia Islam, Muhammad
Abduh mengenalkan istilah “Salafi”.
Lalu ,dari
manakah munculnya istilah “Salafi” untuk menggelari orang yang mengklaim
dirinya sebagai satu-satunya penerus ajaran as-salafu ash-shalih, yakni para
sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabi’in? Nashiruddin
al-Albani-lah yang pertama kali mempopulerkan istilah ini, sebagaimana terekam
dalam sebuah dialognya dengan salah satu pengikutnya, yaitu Abdul Halim Abu
Syuqqah, pada bulan Juli 1999/Rabiul Akhir 1420 H.
Seiring dengan
kelihaiannya dalam ‘mengaduk-aduk’ hadis, Albani sebagai pendatang baru di
ranah Wahabi, juga lihai dalam meracik nama baru untuk me-refresh dan meremajakan faham yang kian memiliki image negatif di dunia Islam itu. Dia sangat berjasa bagi
kelanjutan dakwah Salafi Wahabi dengan istilah “salafi”-nya itu.
3. Sepak
Terjang Gerakan dan Pemikiran Wahabi di Saudi Arabia
3.1 Sejarah
Salafi Wahabi di Saudi Arabia
Aliran
Wahabiah, yang mempunyai pengaruh pada pemikiran pembaharuan di abad ke-19 M.
Pembinanya adalah Muhammad ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang berasal dari Nejd di Arabia. Setelah
menyelesaikan pelajarannya di Madinah ia pergi merantau ke Basrah dan tinggal
di kota ini selama empat tahun. Selanjutnya ia pindah ke Baghdad dan di sini ia
memasuki hidup perkawinan dengan seorang wanita kaya. Lima tahun kemudian,
setelah istrinya meninggal dunia, ia pindah ke Kurdistan, kemudian ke Hamdan
dan ke Isfahan. Setelah bertahun-tahun merantau ia akhirnya kembali ke tempat
kelahirannya di Nejd.
Pemikiran yang
dicetuskan Muhammad ibnu Abdul Wahab untuk memperbaiki kedudukan umat Islam
timbul bukan sebagai reaksi terhadap suasana politik seperti yang terdapat di
Kerajaan Usmani dadn Kerajaan Mughal, tetapi sebagai reaksi terhadap paham
tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam di waktu itu. Kemurnian paham
tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak abad ke-13 M memang
tersebar luas di dunia Islam.
Di tiap negara
Islam yang dikunjunginya, Muhammad ibnu Abdul Wahab melihat kuburan-kuburan
Syekh tarekat bertaburan. Tiap kota, bahkan juga kampung-kampung, mempunyai
kuburan syekh atau wali masing-masing. Ke kuburan-kuburan itu umat Islam pergi
naik haji dan meminta pertolongan dari syekh atau wali yang dikuburkan di
dalamnya, untuk menyelesaikan problema hidup mereka sehari-hari. Syekh atau
wali yang telah meninggal itu dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk
menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi manusia di alam ini.
Karena
pengaruh tarekat ini, permohonan dan doa
tidak lagi langsung dipanjatkan kepada Tuhan, tetapi melalui syafaat syekh atau
wali tarekat, yang dipandang orang yang dapat mendekati Tuhan dan dapat
memeperoleh rahmat-Nya.
Sebagaimana
dilihat oleh Muhammad ibnu Abdul Wahab, kemurnian tauhid dirusak bukan hanya
oleh pemujaan pada syekh dan wali. Paham animisme masih mempengaruhi keyakinan
umat Islam. Kaum Muslimin pergi ke tempat-tempat seperti itu (pemakam an syekh
atau wali) untuk meminta pertolongan dalam mengatasi persoalan-persoalan hidup
mereka. Tuhan, yang kepada-Nyalah seharusnya dipanjatkan do’a dan permohonan,
telah dilupakan.
Keyakinan
seperti ini, menurut paham Muhammad ibnu Abdul Wahab telah merupakan syirik
atau politeisme. Dan syirik adalah dosa terbesar dalam Islam, dosa yang tak
dapat diampuni Tuhan.
Soal tauhid
memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam, dan oleh karena itu
tidak mengherankan kalau Muhammad ibnu Abdul Wahab memusatkan perhatian pada
soal ini. Ia berpendapat:
1. Yang boleh
dan harus disembah hanyalah Tuhan,dan orang yang menyembah selain dari Tuhan
telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh.
2. Kebanyakan
orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka
meminta pertolongan bukan lagi dari Tuhan, tetapi dari syekh atau wali dan dari
kekuatan gaib. Orang Islam demikian juga telah menjadi musyrik.
3. Menyebut
nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai perantara dalam doa juga merupakan
syirik.
4. Meminta
syafaat selain Tuhan adalah juga syirik.
5. Bernazar
kepada selain dari Tuhan juga syirik.
6. Memperoleh
pengetahuan selain dari Alquran, Hadis dan qiyas (analogi) merupakan
kekufuran.
7. Tidak
percaya kepada kada dan kadar Tuhan juga merupakan kekufuran.
8. Demikian
pula menafsirkan Alquran dengan takwil (interpretasi bebas) adalah kufur.
Semua yang
tersebut di atas ia anggap bid’ah , dan bidah adalah
kesesatan. ia berpendapat bahwa umat Islam harus kembali kepada kepada Islam
asli. Yang dimaksudnya dengan Islam asli, ialah Islam sebagaimana yang dianut
dan dipraktekan di zaman Nabi, sahabat serta tabi’in, yaitu sampai abad ke-3
Hijriah.
Kepercayaan-kepercayaan
dan praktek-praktek lain yang timbul sesudah zaman itu bukanlah ajaran asli
dari Islam dan harus ditinggalkan. Dengan demikian taklid dan patuh kepada
pendapat ulama sesudah abad ke-3 H tidak dibenarkan. Pendapat dan penafsiran
ulama tidaklah merupakan sumber dari ajaran-ajaran Islam. Sumber yang diakuinya
hanyalah Alquran dan Hadis. Dan untuk memeahami ajaran-ajaran yang terkandung
dalam kedua sumber itu dipakai ijtihad. Baginya pintu ijtihad tidak tertutup.
Sama dengan Syah Waliyullah, Muhammad Abd al-Wahab adalah juga pengikut Ibn
Taimiyah.
Muhammad ibnu
Abdul Wahab bukanlah hanya seorang teoris, tetapi juga pemimpin yang dengan
aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat sokongan dari Muhammad bin
Su’ud dan putranya Abdul al-Aziz di Nejd. Paham-paham Muhammad Abd al-Wahab
mulai tersiar dan golongannya bertambah kuat, sehingga di tahun 1773
mereka dapat menduduki Riyadh. Di tahun 1787 Muhammad ibnu Abdul Wahab
meninggal dunia, tetapi ajaran-ajarannya tetap hidup dengan mengambil bentuk
aliran yang dikenal dengan nama Wahabiah.
Kemajuan-kemajuan
yang mereka peroleh mencemaskan bagi Kerajaan Usmani di Istambul. Sultan Mahmud
II memberi perintah kepada Khedewi Muhammad Ali di Mesir supaya mematahkan
gerakan Wahabiah itu. Ekspedisi yang dikirim dari Mesir dapat membebaskan
Madinah dan Mekah di tahun 1813. Kedua kota ini jatuh ke bawah kekuasaan
Wahabiah di tahun 1804 dan 1806. Tetapi di permulaan abad ke-20 M
gerakan Wahabiah bangkit kembali dan Raja Abd al-Aziz dapat menduduki Mekah di tahun
1924 dan setahun kemudian juga Madinah dan Jeddah. Mulai dari waktu itu
mazhab dan kekuatan politik Wahabiah mempunyai kedudukan yang kuat di Tanah
Suci.
Pemikiran-pemikiran
Muhammad ibnu Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran
pembaharuan di abad ke-19 M adalah yang berikut:
1. Hanya
Alquran dan Hadis-lah yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam.
Pendapat ulama tidak merupakan sumber.
2. Taklid
kepada ulama tidak dibenarkan.
3. Pintu
ijtihad terbuka dan tidak tertutup.
3.2 Sisi Hitam
Wahabi
Tidak ada yang
dapat menyangkal, bahkan hingga sekte Salafi Wahabi sekalipun, bahwa sejarah
Salafi Wahabi penuh dengan aksi-aksi kotor dan darah umat Islam. Para ahli
sejarah yang menulis tentang sejarah Wahabi mengakui kenyataan itu. Tindakan
kurang terpuji tersebut mereka lakukan atas nama tauhid dan perjuangan membela
agama Allah. Jika ahli sejarah menyatakan:
“Pada periode
itu fenomena kepala-kepala terputus dari umat Islam yang dituduh menolak faham
Wahabi sangat banyak (bergelimpangan dimana-mana), belum lagi fenomena
pemotongan tangan, kaki, pemusnahan, dan penyiksaan jasmani dan rohani.”
Ada beberapa
efek samping yang dikhawatirkan dari keberadaan faham Salafi Wahabi ini terkait
sikap umat Islam. Secara garis besarnya ada tiga kemungkinan, yaitu: Pertama, akan dapat mengakibatkan seseorang kafir atau
keluar dari Islam, karena menolak akidah yang dianggapnya sesat ini, jika dia
meyakini bahwa ajaran itu benar-benar merepresentasikan Islam itu sendiri. Kedua, jika dia tidak meyakini bahwa ajaran itu dari
Islam, maka dia akan menolak faham Salafi Wahabi ini. Efek selanjutnya yang
mungkin berkembang adalah, bisa jadi orang tersebut akan membenci dan antipati
terhadap Salafi Wahabi, sehingga perpecahan umat kian meruncing. Ketiga, bisa jadi seseorang justru menjadi pendukung dan
pengikut setia Salafi Wahabi, untuk kemudian mengamalkan ajarannya. Yang ketiga
inipun akan menjadi bumerang dalam tubuh umat Islam, karena akan ada
‘perebutan’ pengikut. Selain itu, menjadi lengkaplah ketika tidak ada titik
temu antara ajaran Salafi Wahabi dengan ajaran umat Islam yang mayoritas.
Dalam sejarah
perjuangan Wahabi, tidak satu pun mereka yang melakukan perjuangan menentang
orang-orang Yahudi dan Kristen yang kala itu datang menjajah negara-negara
muslim dan berupaya menghancurkan khilafah Islamiyah Turki Utsmani. Perjuangan mereka hanya dipenuhi dengan air
mata dan darah umat Islam melalui berbagai penyerangan dan pembunuhan yang
mereka lakukan kepada penduduk Makah, Thaif, Madinah, Riyad, Qatar, Bashrah,
Karbala, Nejef, Qum, Omman, Kuwait, negeri-negeri Syam, dan negeri-negeri Islam
lainnya.
Pada tahun
1746/1159, Wahabi-Sa’ud secara resmi memproklamasikan jihad terhadap siapa pun yang mempunyai pemahaman tauhid berbeda dari mereka. Kampanye ini diawali dengan
tuduhan syirk (polytheist), murtad, dan
kafir kepada pihak-pihak yang berbeda paham. Setiap muslim yang tidak mempunyai
pemahaman dan praktik ajaran Islam yang persis seperti Wahabi, mereka anggap
murtad, dan karenanya memerangi mereka dibolehkan, atau bahkan diwajibkan. Dengan
demikian, predikat muslim-menurut wahabi-hanya merujuk secara ekslusif kepada
para pengikut Wahabi. Sekitar lima belas tahun setelah proklamasi jihad
ini, Wahabi sudah menguasai sebagian besar Jazirah Arab, termasuk Najd, Arabia
Tengah, ‘Asir, dan Yaman.
Pada tahun
1163 H, Salafi Wahabi menyerang dan memporak-porandakan kampung asal
Muhammad ibnu Abdul Wahab, serta berhasil membunuh Utsman ibnu Hamad ibnu
Mu’ammar saat saat dia sedang shalat di dalam masjidnya pada hari Jumat. Bahkan, Muhammad Ibnu Abdul Wahab menuduhnya
kafir. Merasa belum puas dengan terbunuhnya Utsman ibnu Hamad, Muhammad Ibnu
Abdul Wahab pun memerintahkan untuk menghabiskan nyawa penduduk kampung itu,
bahkan menjadikan para wanitanya menjadikan budak belian.
Pada tahun
1187, Raja Abdul Aziz keluar membawa pasukan yang cukup besar untuk menyerang
Riyad. Di sana mereka tinggal beberapa hari, menhancurkan bangunan-bangunan,
observatorium, menara, dan membunuh banyak penduduk muslim dari kaum lelaki,
perempuan, dan anak-anak. Mereka keluar dari Riyad dengan membawa harta
rampasan penduduk untuk menutupi kebutuhan hidup para pengikut Muhammad ibnu
Abdul Wahab dan tentara perang.
Pada bulan
Dzul Qa’dah tahun 1216 H/1802 M, putra tertua Abd al-Aziz yang bernama Saud
ibnu Saud menyerang Karbala bersama 12.000 pasukannya. Mereka mengepung kota
Karbala, membunuhi penduduknya, menjarah makam Imam Husein cucu Nabi dan putra
Ali ibnu Abi Thalib, dan membantai siapa saja yang berusaha merintangi jalan
mereka. Mereka banyak mendapatkan rampasan perang. Kurang lebih 5000 (lima
ribu) penduduk Karbala terbunuh.
Pada bulan
Dzulqa’dah Pada tahun 1217 Hijriah bertepatan dengan tahun 1803 Masehi
Salafi Wahabi juga menyerang dan memberangus kota Thaif dengan alasan
membebaskannya dari kemusyrikan. Ketika itu kota Thaif berada di bawah
pemerintahan as-Syarif Ghalib , gubernur kota Makah. Padahal sebelumnya, antara
as-Syarif Ghalib dan Sekte Wahabi telah menjalin kesepakatan, namun mereka
telah melanggarnya. Di kota itu, mereka membunuh ribuan penduduk sipil,
termasuk wanita dan anak-anak. pada bulan Muharram 1248 H, Wahabi
berhasil memasuki kota Makah dan menetap di sana selama 14 hari. Dalam tempo
masa itulah mereka melakukan perusakan dan membuat ketetapan tentang larangan
menziarahi makam para nabi dan orang-orang shaleh.
Syaikh Ja’far
asy-Syaib dan beberapa ulama Islam lainnya. Beliau mati dibunuh oleh komandan
bala tentara Wahabi dengan cara sadis dan kejam. Semua peristiwa kejam
dan sadis di atas terjadi pada tahun 1217 H/1802 M.
Setelah Wahabi
menyerang kota Thaif dan membunuh umat Islam serta ulamanya, mereka menyerang
tanah mulia Makah al-Mukarramah tahun 1803 M-1804 M (1218-1219 H). Pada bulan
Muharram 1220 Hijriah (1805 Masehi), Wahabi di Makah membunuh ribuan umat
Islam yang sedang menunaikan ibadah haji. Penduduk Makah dilanda
penyakit busung lapar akibat kezaliman yang telah dilakukan oleh Wahabi.
Anak-anak dan orangtua mati kelaparan, sehingga mayat bergelimpangan di
mana-mana karena Wahabi telah merampas semua harta umat Islam Makah yang mereka
klaim sebagai harta ‘ghanimah’. Pendudukan
Haramain ini berlangsung sekitar enam setengah tahun. Periode kekejaman ini
ditandai dengan pembantaian dan pemaksaan ajaran Wahabi kepada penduduk
Haramain, penghancuran bangunan-bangunan bersejarah dan pekuburan, pembakaran
buku-buku selain Al-Qur’an dan Hadis, larangan merayakan Maulid Nabi, larangan
pembacaan puisi Barzanji. Sebagaimana
diceritakan oleh penulis Barat, Charles Allen, pada tahun 1803-1804 tersebut
pasukan Wahabi menyerbu Makah dan Madinah. Mereka membunuh para syaikh dan
orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Maka, pada 1804, Makah pun
jatuh ke tangan Wahabi.
Setelah
menguasai Makah, pada akhir bulan Dzulqa’dah 1220 H, mereka juga
berhasil menguasai kota Madinah. Kota Madinah akhirnya ditinggalkan
dalam keadaan sepi selama beberapa hari, tanpa azan, iqamah, dan shalat.
Pada tahun
1838, tiga orang ulama dari Kabilah Umair ibnu Khalid yang mendukung
orang-orang Mesir (gubernur Turki Utsmani) yang sedang menuju Ahsaa, dihukum
mati. Penguasa Wahabi daerah itu, Amr ibnu ‘Ufaishan, datang menemui penguasa
Bahrain (untuk meminta perlindungan dari perbuatannya).
Pada tahun
1341 H/ 1921 M tentara Wahabi telah membantai rombongan jamaah haji asal
Yaman yang sedang menuju Makah tanpa sebab yang jelas.
Pada Tahun
1925, Inggris bersama penguasa Saudi (dengan Salafi Wahabi nya)
merencanakan penyerbuan ke daerah Yordania bagian timur. Sedikitnya ada 250
orang tewas dan banyak yang menjadi tawanan mereka.
Dalam buku Shafahat min Tarikh al-Jazirah dipaparkan
bukti-bukti konkret tentang terlalu tampaknya pembelaan Wahabi dalam berbagai
kasus yang terkait dengan kepentingan Inggris dan Yahudi kala itu. Salah satu
indikasinya adalah ketika dilangsungkan Kongres Dunia Islam pada 1926,
para ulama dan utusan dari negara-negara dunia Islam mengusulkan untuk
membersihkan kawasan Timur Tengah- seperti Palestina, Syria, Irak, dan
semenanjung Jazirah Arab dari pengaruh asing, namun ulama Wahabi menolak usulan
negara-negara dunia Islam tersebut. Sejak awal, Salafi Wahabi sudah mengamini “penggadaian”
negeri Palestina kepada Inggris untuk diberikan kepada orang Yahudi.
Pada tahun
1926 protes massal kaum muslim mengalir dari seluruh dunia. Protes
yang sama bermunculan di Iran, Irak, Mesir, Indonesia, Turki, dan negara-negara
muslim lainnya. Beberapa ulama menulis traktat dan buku untuk mengabarkan
kepada dunia bahwa fakta-fakta yang terjadi di Hijaz pada dasarnya adalah konspirasi
karya Yahudi guna melawan Islam dengan berkedok “pemurnian tauhid”. Tujuan
utamanya adalah menghapus secara sistematis akar sejarah umat Islam, sehingga
nantinya kaum muslimin kehilangan jejak sejarah dan asal-usul keagamaannya.
Dalam Muktamar al-Aqir tahun 1341 H di distrik Ahsaa telah
ditandatangani sebuah perjanjian resmi antara pihak Wahabi dengan pemerintah
Inggris. Surat perjanjian itu ditandatangani oleh Raja Abdul Aziz. Selain itu,
utusan Wahabi juga telah datang menghadiri “Muktamar tentang Tempat Hijrah
Bangsa Yahudi ke Palestina”.
Pada 15 Mei
1948 ketika kecamuk perang Palestina masih saja berlanjut, Wahabi sangat
khawatir jika perang berujung pada kemenangan persatuan negara-negara Arab yang
diketuai oleh Mesir dalam merebut Palestina dari tangan Israel. Kondisi itu
akan mengancam eksistensi negara mereka mengingat sejarah hubungan mereka
dengan Mesir (salah satu provinsi Khilafah Turki Utsmani saat itu) sangat
tajam, karena klan Saudi dianggap telah merongrong kedaulatan Khilafah Turki
Utsmani bekerjasama dengan penjajah Inggris untuk mendirikan negara baru. Maka
pagi hari tanggal 7 Januari 1949, secara diam-diam, pimpinan Wahabi
menghubungi perwakilan Amerika dan Inggris di Kota Jeddah untuk meminta bantuan
agar peperangan Palestina segera diakhiri dengan perundingan damai antara Arab
dan Israel.
Pada tahun
1959, Kerajaan Saudi melarang umat Islam Syiria untuk berhaji. Bahkan pada
tahun itu, mereka juga tidak mengizinkan umat Islam asal Mesir untuk menunaikan
ibadah haji kecuali dengan harga tinggi.
Pada tahun
1969, saat diwawancarai koran Washington Post, pemimpinn
Wahabi mengakui adanya kedekatan dan hubungan khusus antara mereka dengan
Yahudi. Oleh karena itu, tidak aneh jika ulama-ulama Wahabi juga
menyuarakan hal yang sama tentang Israel, seperti fatwa-fatwa yang dikeluarkan
oleh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, a-Albani yang membela kepentingan Yahudi.
Pada tahun
1408 H/ 1986 M. Insiden itu bermula dari jamaah haji Iran yang meneriakkan yel-yel
kritikan terhadap Barat dan sekutunya, di dekat pemondokan mereka di Makah. “Kematian untuk Amerika (al-maut li amrika), kematian buat Rusia,
kematian buat Israil! Wahai umat Islam, bersatulah (ayyuhal muslimun
ittahidu),” demikian mereka terus berteriak sambil berjalan
menuju Masjidil Haram. Ketika para jamaah haji yang berunjuk rasa mendekati
Masjidil Haram untuk masuk menunaikan ibadah, tentara dan polisi Saudi Arabia
menghadang dan mengepung mereka, untuk kemudian membantai mereka dengan
tembakan dan hujan peluru. Sedikitnya ada 329 jamaah haji tewas,
sedangkan yang terluka parah jumlahnya ribuan.
Sebagian ahli
sejarah menyebutkan, kemunculan Salafi Wahabi belumlah lama, baru sekitar
250 tahun lalu, namun efeknya begitu besar bagi hilangnya jejak-jejak
peninggalan Islam. Sebelum kehadiran mereka, kehadiran bersejarah itu
terjaga dengan rapi, dari zaman Rasulullah Saw. sampai tumbangnya khilafah Turki Utsmani (pada tahun 1924 M) yang
selama ini menjaga dan melestarikan peninggalan-peninggalan Islam tersebut di
Jazirah Arab.
3.3
Bentuk-Bentuk Penyelewengan Wahabi dalam Bentuk Hal Amanah Ilmu
a. Pada tahun
1224, misalnya, mereka membumi hanguskan Perpustakaan al-Aidrusiyah dan
Perpustakaan al-Handawaniyah di Hadhramaut Yaman, di mana puluhan ribu buku turats dan manuskrip sangat berharga yang tersimpan di
kedua perpustakaan tersebut habis tanpa tersisa.
b. Sengaja mentahkik,[2]
mentakhrij[3],
dan meringkas
kitab-kitab hadis yang jumlah halamannya besar untuk menyembunyikan hadis-hadis
yang tidak mereka sukai.
c. Membuang
hadis-hadis yang tidak mereka sukai dalam buku-buku yang mereka terbitkan,
sehingga tidak sesuai dengan buku asli yang diterbitkan penerbit lain.
d. Memerintahkan
ulama mereka untuk mengarang suatu buku, lalu mengatasnamakan buku itu dengan
nama orang lain.
Contohnya
adalah kitab al-Asma wa ash-Shifat yang mereka
nisbatkan kepada Ibnu Taimiyah, padahal Ibnu Taimiyah tidak pernah mengarang
kitab tersebut. Sebab, dari pandangan Salafi Wahabi, keberadaan buku itu dapat
menandingi kitab al-Asma wa ash-Shifat karya Imam
Baihaqi.
e. Membakar
Puluhan Ribu Buku-Buku Perpustakaan
Di antara
kasus pembakaran buku-buku yang paling fenomenal adalah pembakaran buku-buku
yang ada di perpustakaan Maktabah Arabiyah di Makah
al-Mukarramah. Perpustakaan ini termasuk perpustakaan yang paling berharga dan
paling bernilai historis. Sedikitnya ada 60.000 buku-buku langka dan
sekitar 40.000 masih berupa manuskrip yang sebagiannya adalah
hasil diktean dari baginda Nabi Saw. kepada para sahabatnya, sebagian lagi dari
Khulafaur Rasyidin yang empat, dan para sahabat Nabi yang lainnya. Pada 1224
H., kembali terjadi musibah besar dalam hal warisan ilmu para ulama as-salaf ash-shalih. Tentara Salafi Wahabi yang dipimpin
oleh Ibnu Qamala melenyapkan perpustakaan Hadhramaut tanpa bekas.
3.4 Tujuh
kesamaan antara golongan Salafi Wahabi dengan Kahawarij
Pertama, sebagaimana kelompok Khawarij dengan
mudah menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir, kelompok Salafi Wahabi
sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat,
dan takhayul. Abdullah ibnu Umar dalam mensifati kelompok Khawarij meriwayatkan
sebuah hadis dari Nabi Saw. yang berbunyi, “Mereka menggunakan ayat-ayat yang
diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang
orang-orang beriman.”[4]
Kedua, sebagaimana kelompok Khawarij memahami
Al-Qur’an dan hadis secara harfiah dan kaku, kelompok Salafi Wahabi pun
memiliki pemahaman yang sama. Misalnya, mereka sangat kaku dalam memahami
perintah-perintah Rasulullah Saw. Kalimat perintah itu banyak jenisnya, ada
yang menunjukkan makna wajib, sunnah, boleh, makruh, dan haram. Begitu juga ke-harfiah-an Salafi Wahabi dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah Swt. seperti
kata “yad, wajh, istiwa, nuzul, kursi” dan kalimat
sejenisnya. Sehingga mereka terjerumus ke dalam penyerupaan dengan makhluk-Nya (tasybih), sama dengan akidah Yahudi.
Ketiga, sebagaimana kelompok Khawarij disifati
sebagaimana oleh hadis Nabi sebagai “pembunuh umat Islam”, sedang para
penyembah berhala mereka biarkan”, maka sejarah Salafi Wahabi pun telah
melaksanakan perilaku keji semacam itu.
Keempat, sebagaimana kelompok Khawarij memiliki
banyak keyakinan yang aneh dan keluar dari kesepakatan mayoritas kaum muslimin,
kaum Salafi Wahabi pun memiliki kekhususan yang sama. Misalnya, Salafi Wahabi
menuduh kaum muslim yang berziarah kubur Rasulullah dengan sebutan syirik,
bid’ah. Padahal mayoritas ulama menyatakan bahwa ziarah kubur Nabi Saw
merupakan bentuk qurbah (ibadah).
Kelima, seperti kelompok Khawarij memiliki jiwa
jumud (kaku), mempersulit diri dan mempersempit ruang lingkup pemahaman ajaran
agama, maka kaum Salafi Wahabi pun mempunyai kendala yang sama. Mereka tidak
berani untuk mempertanggungjawabkan tuduhannya tersebut (bid’ah, syirik) dengan
berdiskusi terbuka dengan kelompok-kelompok yang dianggap sesat.
Keenam, sebagaimana kelompok Khawarij telah
keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajaran yang menyimpang, maka Wahabi pun
memiliki penyimpangan yang sama. Oleh karena itu, ada beberapa hadis tentang
Khawarij yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya, yang dapat pula
diterapkan pada kelompok Wahabi.
Ketujuh, sebagaimana kelompok Khawarij meyakini
bahwa “negara muslim” (Dar al-Salam) jika
penduduknya banyak melakukan dosa besar maka dapat dikategorikan “negara zona
perang” (Dar al-Harb), kelompok radikal
Salafi Wahabi pun meyakini hal tersebut. Sekarang ini, kita dapat melihat
bagaimana kelompok-kelompok radikal Salafi Wahabi melakukan aksi teror di
berbagai tempat, yang tidak jarang kaum muslimin juga menjadi korbannya.
Demikian
gambaran mengenai gerakan dan pemikiran Wahabi di Saudi Arabia. Semoga kita
senantiasa dalam lindungan dan rahmat-Nya serta tetap lurus dalam mencari ilmu
Allah Swt yang sangat dalam ini. Amiin
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
1. Kata
salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada as salaf. Kata as-salaf sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup
sebelum zaman kita. Adapun makna terminologis As-Salaf adalah generasi
yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah Saw. dalam hadisnya, “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di
masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in),kemudian yang mengikuti mereka
(tabi’at-tabi’in).” (HR. Bukhari
dan Muslim)
2. Awal mula
munculnya “Salafi” sebagai istilah adalah di Mesir, setelah usainya penjajahan
Inggris. Tepatnya saat muncul gerakan pembaharuan Islam (al-ishlah as-dini) yang dipimpin oleh Jamaluddin al-Afghani
dan muridnya, Muhammad Abduh, di akhir abad ke-19 Masehi, yang dikenal
dengan gerakan Pan Islamisme. Untuk menumbuhkan rasa patriotisme dan fanatik
yang tinggi terhadap perjuangan umat Islam saat itu, Muhammad Abduh mengenalkan
istilah “Salafi”. istilah “Salafi” untuk menggelari orang yang mengklaim
dirinya sebagai satu-satunya penerus ajaran as-salafu ash-shalih, yakni para
sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabi’in,Nashiruddin
al-Albani-lah yang pertama kali mempopulerkan istilah ini, sebagaimana terekam dalam sebuah
dialognya dengan salah satu pengikutnya.
3. Aliran
Wahabiah, yang mempunyai pengaruh pada pemikiran pembaharuan di abad ke-19 M.
Pembinanya adalah Muhammad ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang berasal dari Nejd di Arabia. Pemikiran yang
dicetuskan Muhammad ibnu Abdul Wahab untuk memperbaiki kedudukan umat Islam
timbul sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat
Islam di waktu itu.
4. Dalam
sejarah perjuangan Wahabi, tidak satu pun mereka yang melakukan perjuangan
menentang orang-orang Yahudi dan Kristen yang kala itu datang menjajah
negara-negara muslim dan berupaya menghancurkan khilafah Islamiyah Turki
Utsmani. Perjuangan mereka hanya
dipenuhi dengan air mata dan darah umat Islam melalui berbagai penyerangan dan
pembunuhan yang mereka lakukan kepada penduduk Makah, Thaif, Madinah, Riyad,
Qatar, Bashrah, Karbala, Nejef, Qum, Omman, Kuwait, negeri-negeri Syam, dan
negeri-negeri Islam lainnya.
5. Salah satu
di antara kesamaan antara golongan Salafi Wahabi dengan Kahawarij adalah
sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim dengan
sebutan kafir, kelompok Salafi Wahabi sangat mudah menuduh seorang muslim
sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat, dan takhayul. Abdullah ibnu Umar dalam
mensifati kelompok Khawarij meriwayatkan sebuah hadis dari Nabi Saw. yang
berbunyi, “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan
bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang
beriman.”
2. Saran
Demikianlah makalah ini saya buat dengan
sebaik-baiknya. Apabila ada kekurangan ataupun kekeliruan, kritik dan saran
dari Bapak Dosen sangat saya harapkan demi kesempurnaannya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Idahram, Syaikh.2011.Mereka Memalsukan
Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik.Yogyakarta: Pustaka Pesantren
Idahram, Syaikh.2011.Sejarah Berdarah
Sekte Salafi Wahabi.Yogyakarta: Pustaka Pesantren
Idahram, Syaikh.2011.Ulama Sejagad
Menggugat Salafi Wahabi.Yogyakara: Pustaka Pesantren
Nasution, Harun.2003.Pembaharuan dalam Islam.Jakarta: Bulan
Bintang
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan,
Dr.2008.Kitab Tauhid 1.Jakarta: Darul Haq
Tim Ahli Ilmu Tauhid.2008.Kitab Tauhid 2.Jakarta: Darul Haq
Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa
Timur.2012.Risalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah dari Pembiasaan Menuju Pemahaman
dan Pembelaan Akidah-Amaliah NU.Surabaya: Khalista
[1] Dari kata ini kita
kemudian sering mendengar kata bentukan lainnya, seperti Salafiyah (yang
berarti ajaran atau paham Salaf) atau Salafiyun/Salafiyin yang merupakan bentuk
plural dari kata Salafi.
[2] Tahkik: upaya penelitian
secara mendalam terhadap sebuah manuskrip (makthuthat) sebelum mencetak
dan menerbitkan manuskrip tersebut. Tahkik biasanya terjadi pada naskah
kuno yang masih ditulis tangan. Seorang muhaqqiq (pentahkik), selain
menyusun naskah kuno tersebut menjadi rapi dan terbaca sehingga siap dicetak,
biasanya juga memberikan komentar-komentar terhadap naskah yang ditahkiknya
itu.
[3] Takhrij: upaya penelitian
terhadap suatu hadis untuk menunjukkan atau menisbatkan hadis tersebut kepada
sumber-sumbernya yang asli, yang mengeluarkannya secara lengkap dengan
sanadnya. Terkadang, kata takhrij juga dimaknai sebagai upaya penelitian
terhadap tingkat kesahihan sebuah hadis. Takhrij juga diartikan sebagai upaya
memisahkan antara hadis yang shahih, hasan, dhoif dan palsu atau mungkar dalam
suatu kitab kumpulan hadis oleh seorang mufti atau muhadits. Misalnya,
kitab Sunan Ibnu Majah ditakhrij untuk mengeluarkan hadis-hadisnya yang
shahih saja, sehingga terbitlah kitab Shahih Ibnu Majah.
No comments:
Post a Comment